SOLID GOLD BERJANGKA JAKARTA - Pemerintah mendapat sejumlah saran untuk menekan peredaran hoax yang tersebar luas di internet. Salah satunya dengan menghapus berita hoax di mesin pencari seperti Google.
Saran ini disampaikan oleh Pratama Persadha, praktisi keamanan internet. Ia pun menjelaskan, pemerintah bisa meniru langkah yang ditempuh negara lain dalam memerangi hoax.
"Hal ini dilakukan banyak negara, salah satunya Jerman. Berita dan gambar yang dianggap menyesatkan masyarakat tidak hanya diblokir, namun juga dihilangkan dari mesin pencari di internet," ujarnya.
Saran ini disampaikan oleh Pratama Persadha, praktisi keamanan internet. Ia pun menjelaskan, pemerintah bisa meniru langkah yang ditempuh negara lain dalam memerangi hoax.
"Hal ini dilakukan banyak negara, salah satunya Jerman. Berita dan gambar yang dianggap menyesatkan masyarakat tidak hanya diblokir, namun juga dihilangkan dari mesin pencari di internet," ujarnya.
Tidak hanya itu, pemerintah lewat Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) secara aktif juga melakukan blokir terhadap portal berita yang dianggap meresahkan.
Kominfo sendiri menjelaskan pemblokiran berasal dari usulan Polri maupun BIN, terutama situs yang mengarahkan masyarakat pada tindakan terorisme. Kominfo juga membuka akses Trust+ Positif, sebuah mekanisme pelaporan yang bisa dilakukan masyarakat langsung.
Pratama sendiri ikut menyambut baik upaya pemerintah dalam meminimalisir tersebarnya konten negatif. Namun dia juga menekankan, perlunya keterbukaan Kominfo dalam merilis prosedur dan alasan sebuah situs diblokir.
"Tentu ini baik, tapi masyarakat harus tetap mendapatkan penjelasan yang proporsional dan jelas. Jangan sampai nanti malah terkesan represif. Apalagi untuk memblokir sebuah situs, terutama portal berita misalnya, perlu juga melibatkan dewan pers, kecuali bila situs yang diblokir memang tidak jelas kepemilikan dan keberadaannya," terangnya.
Chairman lembaga riset keamanan cyber CISSReC ini menambahkan cukup riskan bila blokir - blokir ini tidak disertai hak dari para pemiliknya untuk melakukan penjelasan. Ini berpotensi menimbulkan kegaduhan di masyarakat.
Sebaiknya, menurut dia, pemerintah memberikan penjelasan bagaimana tahapan - tahapan dan alasan terperinci pemblokiran, sehingga bisa diterima masyarakat luas tanpa berpretensi negatif.
"Pemerintah harus menghindari terjadinya chaos di wilayah cyber tanah air. Menghindarkan masyarakat dari berita hoax sangat baik. Namun jangan sampai karena kurangnya sosialisasi menjadikan ini sebagai area perang baru dari orang - orang yang jago di dunia maya," jelasnya.
Pratama juga menjelaskan, dirinya cukup khawatir bila pemerintah tidak cukup memberi ruang mediasi, akibatnya bisa muncul prasangka buruk yang bisa berakibat saling serang antar peretas, baik menyerang situs berita maupun akun media sosialnya.
"Posisi kita juga cukup rawan karena di Indonesia belum ada Badan Cyber Nasional. Jadi bila ada saling retas diantara beberapa kelompok di tanah air, aparat kepolisian praktis akan sangat kesulitan. Karena itu sudah tepat bila Presiden Jokowi memerintahkan segera pembentukan Badan Cyber Nasional," terangnya.
Beberapa kali pemblokiran oleh Kominfo, ada beberapa situs yang secara isi tidak ada kaitan dengan tindakan teroris dan radikal, juga tidak menyebarkan ujaran kebencian.
"Hal inilah yang ditakutkan terjadi kembali, sehingga sudah sepatutnya pemerintah tetap bijak dan selektif dalam melakukan pemblokiran situs yang dianggap berbahaya," pungkasnya - SOLID GOLD BERJANGKA
Kominfo sendiri menjelaskan pemblokiran berasal dari usulan Polri maupun BIN, terutama situs yang mengarahkan masyarakat pada tindakan terorisme. Kominfo juga membuka akses Trust+ Positif, sebuah mekanisme pelaporan yang bisa dilakukan masyarakat langsung.
Pratama sendiri ikut menyambut baik upaya pemerintah dalam meminimalisir tersebarnya konten negatif. Namun dia juga menekankan, perlunya keterbukaan Kominfo dalam merilis prosedur dan alasan sebuah situs diblokir.
"Tentu ini baik, tapi masyarakat harus tetap mendapatkan penjelasan yang proporsional dan jelas. Jangan sampai nanti malah terkesan represif. Apalagi untuk memblokir sebuah situs, terutama portal berita misalnya, perlu juga melibatkan dewan pers, kecuali bila situs yang diblokir memang tidak jelas kepemilikan dan keberadaannya," terangnya.
Chairman lembaga riset keamanan cyber CISSReC ini menambahkan cukup riskan bila blokir - blokir ini tidak disertai hak dari para pemiliknya untuk melakukan penjelasan. Ini berpotensi menimbulkan kegaduhan di masyarakat.
Sebaiknya, menurut dia, pemerintah memberikan penjelasan bagaimana tahapan - tahapan dan alasan terperinci pemblokiran, sehingga bisa diterima masyarakat luas tanpa berpretensi negatif.
"Pemerintah harus menghindari terjadinya chaos di wilayah cyber tanah air. Menghindarkan masyarakat dari berita hoax sangat baik. Namun jangan sampai karena kurangnya sosialisasi menjadikan ini sebagai area perang baru dari orang - orang yang jago di dunia maya," jelasnya.
Pratama juga menjelaskan, dirinya cukup khawatir bila pemerintah tidak cukup memberi ruang mediasi, akibatnya bisa muncul prasangka buruk yang bisa berakibat saling serang antar peretas, baik menyerang situs berita maupun akun media sosialnya.
"Posisi kita juga cukup rawan karena di Indonesia belum ada Badan Cyber Nasional. Jadi bila ada saling retas diantara beberapa kelompok di tanah air, aparat kepolisian praktis akan sangat kesulitan. Karena itu sudah tepat bila Presiden Jokowi memerintahkan segera pembentukan Badan Cyber Nasional," terangnya.
Beberapa kali pemblokiran oleh Kominfo, ada beberapa situs yang secara isi tidak ada kaitan dengan tindakan teroris dan radikal, juga tidak menyebarkan ujaran kebencian.
"Hal inilah yang ditakutkan terjadi kembali, sehingga sudah sepatutnya pemerintah tetap bijak dan selektif dalam melakukan pemblokiran situs yang dianggap berbahaya," pungkasnya - SOLID GOLD BERJANGKA
Sumber : inet.detik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar